Cerpen Cinta "Pertemuanmu dengan Ayahku"

Cerpen Cinta "Pertemuanmu dengan Ayahku" -- Cerita Cinta "Pertemuanmu dengan Ayahku".

Hai sobat semua, kali ini akan berbagi cerita yang terangkum dalam Cerpen Cinta "Pertemuanmu dengan Ayahku". Langsung saja baca di bawah ini yaa..


Cerpen ini merupakan kelanjutan dari cerpen sebelumnya yang berjudul "Kala kau menyapaku". Bagi yang belum membacanya, silahkan baca terlebih dahulu, sedangkan bagi yang sudah membaca, silahkan lanjutkan membaca.

***

Untuk pertama kali nya, beberapa menit yang singkat, hanya kau dan aku. Dimulai hari itu, kita melangkah lebih jauh.

Setelah obrolan pertama lewat pesan Line itu, kau mulai rajin menghubungiku. Walaupun sekedar mendapatkan balasan dua huruf, tiga huruf, sepatah dua kata saja dari ku. 

"Ya"

"Ok"

"Sip"

Begitu saja.

Hahaha.

Setiap kali bertemu di perpus, kau berusaha mencari waktu untuk berbicara banyak denganku. Jujur saja saat itu aku takut sekali. Ditawari ngobrol santai sambil makan, tapi aku takut. Padahal diajak makan ya, hehehe. Namun kau bilang hanya ingin menyampaikan dan bertanya sesuatu.
Baca juga : Kata-kata Bijak tentang Berani
Setelah beberapa kali mengalami penolakan dariku dan aku yang terus menghidar darimu, akhirnya suatu sore, dengan terpaksa aku terima tawaranmu. Ku belokkan motorku ke salah satu rumah makan langgananku. Lalu kau membuntuti ku dan memarkirkan motormu tepat di sebelah motorku. 

Tak ingin berlama-lama, jadinya aku hanya memesan minuman dengan alasan masih kenyang. Biarlah kau saja yang punya uang yang pesan makan, pikirku. Ditraktir oleh orang yang baru dikenal, laki-laki pula. Duuhh.. Sepertinya kau pun mengerti hingga sore itu kau makan cepat sekali.

Di sela santapanmu, kau sampaikan keinginan mu untuk mengenalku lebih dekat. Sedang dalam pikiranku, kalimat yang kau lontarkan itu seperti berarti,
"maukah adek menjadi pacar kakak?"

Aaahh, godaan macam apalagi ini, di saat aku sedang ingin bergegas dan fokus menyelesaikan tugas akhirku, si kakak malah datang ingin bertamu di hatiku. 

Tanpa menatapmu, mataku jauh memandang ke arah parkiran motor. Dengan agak gugup, ku katakan padamu, bahwa aku tidak bisa. Aku tidak suka berpacaran. Aku rasa dunia kita tak sama, pergaulan kita berbeda, tidak mungkin bisa dicocokkan. 

Lalu, kau patahkan kalimatku, kau bilang kau memang tidak sedang mencari pacar. Kau bilang kau ingin menikah.

"Kakak serius dek, kakak mencari calon istri".

Deg!
Deg!

Oh ya Allah...

Seperti janjimu di awal, kau hanya ingin menyampaikan niatmu dan bertanya tentang kesiapanku serta statusku. Sembari sedikit-sedikit menggali informasi lainnya. Seperti dimana rumahku? Yang berkali-kali juga hanya ku jawab dengan bercanda,
"di bumi, kak", jawabku.

*peace*

Kau tidak memaksaku untuk memberi jawaban saat itu juga. Aku bingung. Berkali ku katakan, tidak bisa. Tapi kau memintaku untuk berpikir kembali. Akhirnya aku pulang dengan rasa penuh tanya.

Ku ceritakan pada Ibu, sosok penuh kasih, tempatku mencurahkan isi pikiran dan hati. Kami suka bercerita mulai dari hal yang tidak begitu penting sampai kepada hal yang genting. Awalnya Ibu hanya bercanda. Ibu menggodaku, 
"nah, itu ada cowok yang naksir".

Aahhh, Ibuuuk.
Aku malu. Aku bingung. Sebab aku tidak pernah berniat mencari calon imamku di tempat ini. Aku sudah mencoba di tempat-tempat menurutku terbaik juga melalui orang-orang baik, insyaAllah. Lalu, apa benar dia yang akan menjadi jodohku?

Teringat pesan Ayah setahun sebelumnya yang tidak memberi lampu hijau untuk melangkah ke pelaminan sebelum studi ku beres. Namun, saat Ibu sampaikan ceritaku ini kepada Ayah, tidak disangka, Ayah dan Ibu sepakat membuka jalan.

"Kenalkan pada Ayah, toh sebentar lagi juga kamu wisuda, tinggal ujian sidang tugas akhir kan?".

Namun, pernyataan kedua orangtuaku tak membuat keputusanku bulat. Sholat sunnah Istikhoroh dua rakaat sudah ku lakukan bahkan jauh sebelum aku mengenal dirinya. Hmm, hatiku masih gundah. Menikah?

Tak lupa ku ceritakan pula pada seorang guru mengajiku. Seorang yang ku panggil "mbak". Beliau sudah ku anggap seperti kakakku sendiri. Meminta pendapat dan saran kepada nya. Sebaiknya apa yang harus aku lakukan? Kepada beliau juga aku meminta tolong dicarikan jodoh yang sholeh. Dengan hadirnya sang kakak kelas ini, apa boleh dilanjutkan? Galau adek mbak. Hahaha.

Selang beberapa waktu, niat baik sang kakak dibalas dengan permintaan. Bismillah ya Allah. 

Aku meminta dirinya untuk mengisi biodata lengkap. Dia pun akhirnya meminta hal yang sama. Akhirnya kami saling bertukar biodata.

Sesuai dengan saran dari mbakku, juga keluargaku, lalu ku telusuri tentangnya lebih jauh dari biodata ini.
Baca juga : Kata-kata Bijak tentang Cinta, Komunikasi, dan Hubungan
Dimulai dengan membuka media sosialnya. Bagaimana keluarganya. Asal usulnya. Bagaimana pergaulannya. Dengan siapa dia berteman. Semuanya. Setiap informasi yang dikumpulkan, selalu ku ceritakan dengan orang tuaku.

Aku mencoba membuka hati. Mencari tahu tentangnya. Memilih pasangan hidup bukan hal sembarangan. Melibatkan Allah dalam setiap langkah. Istikhoroh semakin ku giatkan.

Saat dia menanyakan kembali, bagaimana kelanjutan cerita ini. Aku memintanya mundur saja. 

Aku ragu, bisakah kau menjadi imam yang baik untukku kelak? Namun, semakin keras ku menolakmu, semakin kuat alasanmu untuk menjadi masa depanku.

Aku pun memberi nya satu syarat lainnya. Aku ingin mendengar bacaan Quran mu. Aku ingin kamu mengaji di depanku. Dan kamu pun meminta waktu padaku. Mencari waktu yang tepat untuk didengarkan. 

Seiring waktu itu, banyak perubahan yang kau tunjukkan. Aku sempat kaget ketika ku dengar dari temanku, cerita tentang temanmu yang pada akhirnya juga kembali membuka Al-Quran. Dan cerita dari temanmu, yang membuatku salut padamu. 

Keberanianmu mengajak dalam kebaikan, berdiskusi tanpa menggurui, bahkan kau menempatkan dirimu sebagai pembelajar.

Hatiku seperti berbisik. Inikah saatnya? Terlebih ketika kembali kau tegaskan dalam tanya,
"Jadi, kapan kakak bisa bertemu Ayah adek"
Aku terkejut. Kau memang benar serius dalam niatmu. 

Belum dua bulan sejak kau menyapaku, di bulan suci Ramadhan ini
- semoga tercurah berkah dari Allah swt aamiin- 
akhirnya kau menemui Ayahku juga Ibuku. Kau kenalkan siapa dirimu, aktivitasmu dan tentu niat baikmu.

Ayah pun menjelaskan siapa aku dan segala kesibukanku. Diam-diam aku melirik, menyaksikan kesungguhanmu dalam meyakinkan Ayahku, bahwa kau sanggup memikul amanah yang selama ini menjadi tanggungjawab Ayahku.

Tentang studi kamu? Kita berdua meyakini, hitungan bulan kamu akan diwisuda, meskipun aku selangkah lebih maju. Wisuda beda kloter. 

Hehehe. Semangat!

Akhirnya, dengan tegas Ayah menerimamu. Disana ku lihat ekspresi lega mu dalam balutan lafazh hamdalah.

Alhamdulillah. 

Kamu berjanji kepada Ayah akan membawa keluargamu untuk bersilaturahim lebih lanjut kepada keluarga kami selepas lebaran. 

Selesai yang disampaikan, hati lega, pikiran melangkah untuk proses berikutnya. Niat baik yang disegerakan.

Kamu pun pamit pulang. Kau pasti segera menelepon orang tuamu. Cihuy!
Baca juga : Kata Mutiara Bijak tentang Cinta dari Tokoh Dunia
Ramadhan ini, ramadhan terakhir bagi kita berstatus jomblo. Ramadhan ini, menjadi titik balik masing-masing dari kita untuk semakin mendekat pada-Nya.

Lagi, seperti doamu, kau ingin dipertemukan dengan jodoh yang dapat membuat mu semakin dekat pada Sang Pencipta. Aku pun begitu.

Siapa yang menyangka, keberanian mu mendekatiku, bermuara kepada keseriusan mu mengajukan niat baik kepadaku, lalu memintaku pada Ayahku.

Pertemuan mu dan Ayahku, sedikit demi sedikit membuka gerbang untuk menuju - Kamu dan Aku menjadi KITA- hehehe.

Baca cerpen berikutnya ya : Cerpen Cinta "Prosesi Lamaran Yang Mendengarkan"