Cerpen Cinta " Terima Kasih dan Maaf untuk Cinta" - Part 2

Cerpen Cinta " Terima Kasih dan Maaf untuk Cinta " - Part 2 -- Terima Kasih Cinta, Maafkan Aku, Cerpen Maaf Menyakitimu, Cerpen Cinta Remaja " Terima Kasih dan Maaf untuk Cinta "


Cerpen ini merupakan kelanjutan dari cerpen sebelumnya tentang Cerpen Cinta " Terima Kasih dan Maaf untuk Cinta" - Part 1. Nah.. langsung saja baca kelanjutan ceritanya ya.

Hari demi hari kulewati dengan menyandang status sebagai pacar ketua tingkatku sendiri. Sampai pada hari di mana kami mengakhiri hubungan tersebut. Hari yang membuatku sulit untuk berkata-kata. Jika teman mempertanyakan kenapa kami putus, aku tak tahu harus memberi jawab apa. Mulutku membisu. Aku sendiri tak tahu kenapa.

Saat status pacaran kami berakhir, aku mulai mengoreksi diri. Mencari tahu apa yang salah dariku. Sampai pada suatu kesimpulan bahwa aku yang salah dari retaknya dan hancurnya hubunganku dan Saldy. Aku bersikap terlalu kekanak-kanakan.

Saldy: “ Ai, mungkin lebih baik kita bersahabat saja”

Perkataan Saldy membuatku diam. Bukan seribu bahasa, itu terlalu sedikit. Tapi aku terdiam sejuta bahasa. Walaupun keputusannnya itu dia sampaikan melalui Via pesan singkat pada Handphone. Aku tak sanggup. Aku marah, sedih, hancur, semua menjadi satu padu. Berkecamuk seakan menyalahkanku atas keputusan Saldy.

Aku membiasakan diri tanpa Saldy. Semua itu sangatlah sulit bagiku. Tak tahu bagaimana dengan Saldy. Kami berdua adalah teman sekelas dan dia adalah ketua tingkatku. Situasi tersebut membuat kami canggung. Namun, jujur dari lubuk hati terdalamku masih tersimpan rasa sayang untuk Saldy.

Terkadang aku berharap ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Setiap Saldy dekat dengan seorang wanita, aku merasa risih dan cemburu. Aku berusaha untuk menahan semua itu. Menjelaskan dan meyakinkan hatiku bahwa Saldy kini hanyalah teman dan ketua tingkatku. Tidak lebih.

Setelah aku putus dengan Saldy, Sian seakan mengambil kesempatan itu untuk mendekatiku. Namun, berbeda dengan Saldy. Sian sangat pemalu dalam menyatakan perasaannya padaku. Bahkan, dia menjadikan Kiki sebagai perantara untuk menyatakan perasaannya.

Sifat Sian memang seorang yang tenang dan tidak banyak bicara. Tak seperti Saldy yang sangatlah cerewet dan kritis dalam berpendapat. Tak heran jika Saldy ditunjuk sebagai ketua tingkat. Sian hanya fokus pada pelajaran dan tugas kuliah. Sian juga taat dalam beribadah.

Dia dan Saldy sering pergi bersama ke Masjid kampus untuk melaksanakan ibadah Shalat. Mereka bahkan selalu mengerjakan tugas bersama. Saldy sering menginap di kontrakan Sian, begitupun sebaliknya.

Satu hal yang spesial dari seorang Sian, dia pandai memasak. Menurut pengakuan Saldy, Sian sangat penyayang. Dia selalu memasak untuk teman-temannya. Sian juga banyak tahu tentang menu masakan.

Sian sangat berhati-hati dalam mendekatiku. Dia mencoba akrab dengan beberapa sahabatku terutama Kiki. Kiki yang selama ini menjadi tempat mencurahkan isi hatinya. Kiki menjadi tempat Sian menabung rahasia tentang diriku. Mereka berdua menganggap aku tak tahu akan rahasia itu. Tapi aku berhasil mengendusnya sendiri. Aku perlahan tahu semuanya. Sampai pada suatu hari saat sedang ada perkuliahan, aku satu kelompok dengan Sian. Aku duduk di sebelah Sian.

Sian: “Apa film Favoritmu?”

Aku: “ Film Korea”

Sian: “Warna Favoritmu?”

Aku: “Ungu”

Sian tak mengatakan langsung pertanyaan itu padaku. Tapi dia tulis di sebuah kertas dan memberikannya padaku yang sedang duduk cantik di dekatnya.

Aku pun menjawab pertanyaannya dengan tulisan bukan dengan lisan. Sesekali kami saling tersenyum. Senyuman Sian seakan berkata padaku “Aku mencintaimu, Aku sayang kamu, Aku mau kamu”.

Aku jadi tak fokus pada perkuliahan yang sedang berlangsung. Semua karena Sian. Kenapa aku satu kelompok dengannya?. Jawabnya karena Saldy.

Saldy yang bertugas membagi kelompok. Apa yang sedang dipikirkan Saldy?. Kenapa dia membuatku satu kelompok dengan Sian?. Apa dia sengaja melakukan ini semua?. Apa Saldy juga tahu bahwa Sian menyukaiku?. Apa dia mendukung Sian?.

Ya Tuhan apa yang sedang terjadi.

Kiki: “Ai, temani aku bertemu seseorang sebentar ya?”

Aku: “Hmmm, Oke. Ketemu di mana kalian?”

Kiki: “Ketemunya di depan Mesjid kampus kok, nggak jauh”

Aku: “Oke Sip”

Aku menemani Kiki yang berniat menemui seseorang di depan Masjid, tepatnya di parkiran Masjid. Aku mengikuti Kiki dari belakang, tapi perasaanku tak enak. Seperti ada sesuatu yang aneh. Kiki pasti merencanakan sesuatu untukku.

Apa ini ada hubungannya dengan Sian?. Apa Sian telah memberanikan diri bertemu denganku?. Sian akan menyatakan cintanya?. Atau aku salah menilai Kiki, karena sebenarnya dia benar-benar ingin menemui seseorang.

Kakiku melangkah mengiringi langkah Kiki di depanku. Seiring langkah pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan di kepalaku.

Kami tiba di area parkiran masjid. Areanya cukup luas dan asri. Pepohonan menghiasi area parkir tersebut. Sehingga banyak di antara kami atau mahasiswa jurusan lain singgah duduk di atas kendaraan roda dua milik orang lain sekedar untuk berteduh saja.

Dari jauh nampak wajah yang sudah kukenal. Dan perkiraanku tak meleset. Ternyata benar, Kiki sengaja mengajakku kesini untuk bertemu dengan Sian. Tapi kuperhatikan Sian tak sendiri, dia ditemani seseorang. Seorang laki-laki yang baru kali ini aku melihatnya.

Kiki: “Ai, Maaf aku berbohong”

Aku: “Kenapa?”

Kiki: “Aku tak ada janji dengan orang, tapi.....”

Aku: “Sudahlah. Aku tahu semuanya”

Kuberanikan diri berjalan mendekati Sian. Orang yang bersama Sian memperhatikanku dari jauh. Mata orang itu tak lepas terus memperhatikanku. Sampai aku tiba berhadapan dengan mereka. Sian dan orang tersebut tersenyum padaku. Mau tak mau aku membalas senyuman mereka.

Sian: “ Maaf, aku meminta bertemu denganmu seperti ini”

Aku: “Tak apa”

Sian: “Perkenalkan Orang ini adalah Ayahku”

Aku tertegun. Aku disihir oleh pernyataan Sian. Apa? Ayah? Orang ini Ayahnya? Untuk apa Ayahnya ingin bertemu denganku?. Tidak, Tidak, Tidak. Jangan seperti ini. Kumohon. Kini kuakui Sian sangat berani. Dia langsung mempertemukan aku dengan Ayahnya. Padahal hubungan kami belum resmi. Lalu, kenapa harus bertemu dengan orang tua? Kalau begini aku tak sanggup.

Ayah Sian: “Wah kamu cantik ya?. Sian sering curhat tentang kamu, dia biasa kasih lihat foto kamu ke Om”

Aku: “...........”. (No Comment)

Aku hanya mampu tersenyum saja. Walau terpaksa. Tak tahu harus berucap apa.

Ayah Sian: “Om harap hubungan kalian berjalan lancar”

Aku: “Aaaaa?...i.i..ya Om”

Apa sih yang aku iyakan. Dasar bodoh aku ini. Mulutku ini asal bicara saja. Aku serius sangat gugup menghadapi situasi tersebut. Apa harus sampai seperti ini Sian? Bertemu dengan orang tua kamu? Dasar kamu Siiiaaan!. Rasa gugup, malu, kaku dan marah bercampur dalam satu wadah di hatiku.

Sian: “Sebenarnya aku sudah lama suka sama kamu, jauh sebelum kamu jadian sama Saldy”

Aku: “Oh begitu” (Gugup level berat)

Sian: “Aku bawa ayahku kemari, supaya kamu percaya bahwa aku serius sama kamu”

Dari kejauhan tampak Kiki memperhatikan. Bagaimana Kiki? Apa kamu puas sekarang? Tertawalah Kiki. Kamu pasti senang membuatku malu setengah mati disini.

Aku: “Maaf, Sian saat ini aku ingin fokus ke Kuliah aku dulu”

Sian: “Iya, aku tahu itu. Tujuanku pun sama denganmu. Ingin fokus belajar dulu”

Ayah Sian: “Doa restu Ayah mengiringi perjuangan kalian nak”

What?? Ayah??. Dan apa yang harus direstui? Oh Tuhan, sudah cukup untuk saat ini.

Sian: “Aku ingin berhasil dulu, baru aku melamarmu”

MELAMAR??? Tidak, Tidak, Tidak. Jangan seperti ini Sian. Aku lebih suka diajak tenggelam bersama dengan Saldy di pantai bayang, dari pada bertemu orang tua Sian seperti ini. Rasanya mau langsung mati.

Baca Cerpen Berikutnya : Cerpen Cinta " Terima Kasih dan Maaf untuk Cinta" - Part 3