Novel Terbaru "Aku Tidak Cantik " Part IV

Novel Terbaru "Aku Tidak Cantik " Part IV -- Novel Motivasi "Aku Tidak Cantik" Part IV, Novel Inspirasi "Aku Tidak Cantik" Part IV, Novel Cinta "Aku Tidak Cantik" Part IV, Novel Anak SMA "Aku Tidak Cantik" Part IV.

Hello Teman-teman, kali ini saya ingin berbagi sebuah kisah menarik yang terangkum dalam Novel Terbaru "Aku Tidak Cantik" Part IV. Novel ini merupakan lanjutan dari novel sebelumnya yaitu Novel Terbaru "Aku Tidak Cantik " Part III dan Novel Part IV ini merupakan Novel bagian akhir. Mari baca kisah selengkapnya di bawah ini.

http://www.karyaku.web.id/

Entah karena sudah terlalu malu untuk bisa kembali konsetrasi pada masalah utama atau karena aku memang tertarik dan antusias untuk jadi sukarelawan yang ditawarkan Odie, yang jelas minggu depannya aku menghabiskan hari minggu ku yang biasanya penuh kemalasan berkedok me-time, di sebuah rumah yang disebut Panti Kasih. Aku belum melihat penyandang disabilitas yang dimaksud dalam poster ini. Di rumah besar berwarna putih bersih ini, aku bersama dengan belasan anak muda lain, sepertinya usia SMA dan kuliahan, menggunakan baju kaos polos bewarna putih dan celana panjang jeans gelap. Kami diberikan nametag pengenal. Ada beberapa orang bapak dan ibu yang kelihatannya dari instansi pemerintahan tampak sibuk berkoordinasi dengan beberapa ibu-ibu yang sepertinya adalah perawat di tempat ini.

Kulirik Odie sesekali. Aku canggung sekali. Kenapa kita tidak diajak berkenalan dulu atau apa. Kenapa orang-orang dewasa ini sibuk dengan dunianya sendiri?

Odie menyenggol lenganku perlahan.

“Apa sih yang kamu pikirkan? Mukamu sampai tegang begitu.” Tegurnya. Aku memasang bibir cemberut padanya. “Aku lapar.” Dan itulah yang keluar sebagai jawabanku.

Kadang aku berpikir aku terlalu bodoh untuk jadi anak SMA. Gadis SMA mana yang mengaku lapar pada teman prianya? Ya walaupun sekedar teman, tapi tetap saja. Lapar? Yang benar saja!
Odie menertawaiku pelan. Tapi tatapannya seperti akan menggodaku. Oh tidak, jangan disini jangan permalukan aku.

Sebelum ia sempat bicara, ku cubit lengannya. Dia meringis. Kami mungkin kelihatan seperti dua remaja labil di mata sekawanan orang dewasa dan hampir dewasa yang memenuhi tempat ini. Tapi siapa yang peduli, kami kan masih anak kelas XI. Ya sebentar lagi XII, tapi ya siapa peduli?

“Perhatian semua.” Sebuah suara kemudian membuat kami berhenti cengengesan dan mengikuti gerak melingkar yang disusun orang lain. Maksudku, si pembicara tadi berdiri di tengah-tengah ruangan dan meminta kami untuk mendekatkan diri padanya. Aku, Odie dan entahlah mungkin 15 orang lainnya merangsuk ke depan dan membentuk setengah lingkaran.

Kami diberikan pengantar tentang apa Panti Kasih dan ia juga menunjukkan beberapa foto anak dengan kebutuhan khusus masing-masing. Banyak diantaranya yang tidak lengkap dari segi anggota tubuh, ada juga yang menderita gangguan perkembangan mental. Sambil masih mendengarkan pengantar yang diberikan oleh Ibu Diana, nama pembicara yang juga kepala Panti Kasih ini, aku sesekali melayangkan pandangan iba pada Odie. Maksudku, aku bukannya iba pada Odie, hanya saja aku sedih dan tidak tahu harus memandang siapa. Odie balas menatapku dan menelengkan kepalanya ke depan. Memberiku kode untuk berkonsentrasi dengan Ibu Diana.

Ah, Odie. Kasihannya adik-adik ini. Mereka masih sangat muda, yang tertua baru berusia 14 tahun. Semua yang disini yatim piatu. Sulit mencarikan orang tua angkat jadi yayasan inilah yang mengasuh mereka. Tugas kami, para sukarelawan muda ini adalah untuk membantu para pengasuh dan juga memberikan support kepada adik-adik yang berada di sini. Agar mereka tidak merasa sendiri. Ah entahlah. Aku merasa sangat egois selama ini.

Hari ini kami hanya orientasi. Setelah penjelasan dari Ibu Diana, kami diminta untuk saling berkenalan dengan anggota team sukarelawan dan para pengasuh disini. Ada sepuluh pengasuh tetap disini dengan total anak asuk 25. Pantas saja mereka butuh banyak bantuan. Memang dari segi pembiayaan sejauh ini tidak ada masalah karena ada donator dari luar. Tapi masalah tenaga yang masih minim. Setiap harinya ada juga sukarelawan tidak tetap seperti kami yang membantu. Kebanyakan dari pegawai pemerintahan yang ditugaskan instansi terkait untuk melakukan kegiatan pengabdian. Sementara yang dari golongan pelajar dan mahasiswa, kami adalah angkatan yang pertama. Sukarelawan ini ternyata sebanyak lima belas orang, perhitungan kasarku tadi meleset dikit. Tapi tebakanku tentang aku dan Odie yang jadi anggota termuda ternyata benar. Kakak-kakak di sini semuanya anak kuliahan.

Setelah perkenalan kami diajak berkeliling panti. Panti ini seperti rumah biasa, hanya cukup besar sehingga bisa menampung 25 anak dan 10 pengasuh serta 5 staff lainnya. Kami berjalan menyusuri tangga, ada foto-foto anak asuh yang disusun berjejer, memamerkan kemajuan mereka dari program-program pelatihan yang mereka jalani. Setelah menaiki tangga ini kami akan tiba ke kamar anak-anak. Pintu-pintu kamar terbuka dan kami diijinkan untuk masuk dan berkenalan. Supaya tidak mengejutkan kami diminta untuk membagi diri 2 sampai 3 orang. Aku dan Odie tentunya bersama.
Kira-kira empat jam setelahnya kami diperbolehkan pulang. Sambil menyusuri jalanan yang panas dan terik dengan diboncengi Odie, aku merenungkan banyak hal. Bungkusan di tangan kananku berisi tentang buku petunjuk dan pengantar yang dibutuhkan untuk kegiatan sukarelawan. Ada juga kartu pengenal sebagai ijin untuk masuk pada hari volunteer nanti dan kostum seragam.

“Kenapa diam saja?” Odie berkata sambil tetap berkonsentrasi pada jalanan. Aku menghela napas dan mendekatkan kepalaku ke punggungnya, berharap kupingnya ada di sana sehingga mendengar jika aku bicara.

Tapi tak satu patah kata pun keluar dari mulutku.

Odie membelokkan motornya di pengkolan menuju warung Bi Sintha. Ah, makan. Mungkin ini yang aku butuhkan saat ini.

“Apa makanannya juga gak enak? Kok kamu gak ngomong juga?” Odie Nampak gregetan setelah setengah mangkuk baksonya habis dan kami juga tidak memulai percakapan.

“Hmm… bukan begitu …” kataku menggantung. Odie tidak merespons dengan kata-kata, tapi matanya butuh penjelasan.

“Ya aku sedih aja kok liat kondisi anak-anak tadi. “

“Terus?”

“Ya terus aku malu.”

“Malu?”

“Malu sama diriku, kok bisa-bisanya mengeluhkan hal-hal absurd semacam mengapa aku tidak secantik teman-temanku.”

“Terus?”

“Ya malu saja. Masih heboh sendiri lihat kelebihan orang lain. Lupa bersyukur. Padahal untuk aku punya anggota tubuh yang lengkap saja sudah anugerah. Kenapa aku tidak bersyukur.”

“Lalu?”

Aku mulai kesal. Apa kosakata Odie sekarang hanya itu-itu saja?

“Gak ada lalu lalu an, tersu terusan. Udah titik.”

Odie tertawa. Saat aku lengah, dia mencuri bakso di mangkuk milikku. Dan ternyata yang paling besar. Aaargggghhhh.

“Akhirnyaaaaaa. Tidak sia-sia aku mendaftarkan kita ke program ini. Baguslah kalau pikiranmu terbuka. Hatimu cantik, wajahmu cantik, perbuatanmu cantik. Mengapa harus kamu bandingkan dengan milik orang lain. Kata orang bijak, bunga mekar tanpa peduli bagaimana mekar bunga lainnya. ia hanya mekar seperti ia apa adanya.” Katanya.

“Apa aku cantik?”

“Ya tidak jelek.”

“Tidak jelek belum tentu cantik.”

“Ah kenapa sih kamu.”

“Tadi katamu aku cantik.”

“Kapan bilang begitu? Aku tidak ingat.”

“Bukan hanya tadi, sering kok kamu bilang begitu.”

“Tidak ada barang bukti.”

“Kamu kok ngeles? Kamu memang bilang aku cantik kok.”

“Tidak ada barag bukti, jangan bicara sembarangan. Haha.”

“Odie!!!!!”

“Ayo pulang, cantikku.” Ia mengedipkan matanya iseng. Aku senyum-senyum sendiri di boncengan belakang setelahnya.

Well, aku merasa cantik.

Baca juga  "Aku Cupid"

Itulah Novel Terbaru "Aku Tidak Cantik" karangan Ratih Ayu Apsari. Mudah-mudahan bisa memberikan pesan moral yang baik untuk teman-teman semua. Terima kasih telah membaca Novel ini, jangan lupa untuk membagikan pada teman lainnya.

Bagi teman-teman yang membaca kembali dari Part I, silahkan baca : Novel Terbaru "Aku Tidak Cantik" Part I, atau baca Cerpen Terbaru "Bagaimana Jika ...". Hanya ini yang dapat admin bagikan untuk teman-teman semua. Semoga bermanfaat dan bisa menginspirasi.