Cerpen Cinta "Ketika Cinta Tak Lagi Berkata"

Cerpen Cinta Terbaru "Ketika Cinta Tak Lagi Berkata" -- Cerpen Inspiratif "Ketika Cinta Tak Lagi Berkata", Cerpen Motivasi "Ketika Cinta Berkata Kata", Ketika Cinta Tak Lagi Bermakna, Ketika Cinta Tak Lagi Cukup, Ketika Cinta Tak Lagi Bisa Dipertahankan, Ketika Cinta Pindah ke Lain Hati.

Kali ini admin akan berbagi sebuah cerpen terbaru yang berjudul "Ketika Cinta Tak Lagi Berkata". Langsung saja baca cerpen berikut ini dengan penuh makna.

http://www.karyaku.web.id/

Aku membaca lagi pesan yang ia kirimkan lewat aplikasi pesan instan di handphoneku.

"Maafkan aku untuk setuju dengan pilihan orang tuaku."

Singkat, padat dan jelas.

Jelas untukku karena seminggu ini perdebatan tentang masalah hubungan kami memang tidak terelakkan.

Ah, hanya dalam seminggu ia sudah bisa membuat keputusan.

Sementara hubungan lima tahun ini, apakah tidak ada sesuatu yang istimewa baginya.

Aku menatap kosong pada air yang menempel di jendela.

Hujan. Deras sekali. Butiran airnya besar-besar, sampai aku bisa mendengar ya bertabrakan dengan jendela.

Ah, betapa pas sekali dengan suasana hatiku.

Dunia begitu toleran pada cerita hari ini.

Dikirimnya hujan, agar aku tak menangis seorang diri.

Petir menyambar beberapa kali. Juga ada kilat. Aku sebenarnya ingin keluar. Biar sekalian tubuh ini basah oleh hujan.

"Yang terbaik tidak akan pernah pergi,"

Begitu ia pernah berkata pada suatu masa. Aku ingat, ia bahkan tersenyum sangat cantik kala itu.

Sudah lama, di waktu aku kesulitan keuangan akibat beasiswa yang terputus karena nilai semesterku jatuh. Waktu itu aku hanya mahasiswa semester 6 yang terombang ambing antara idealisme, akademik dan himpitan ekonomi.

Aku bertemu dengannya di suatu pagi yang biasa di Bulan November. Di ujung jalan kampus sebelum belokan menuju laboratorium komputer. Aku yang tanpa arah setelah ditinggal pergi kekasih yang belum ada satu semester aku pacari saat itu, nampak kacau. Pada saat itulah, aku melihatnya. Cantik dan segar seperti aroma yang ditimbulkan pada saat hujan berakhir. Seperti itulah, ia menawarkan tangannya untuk merapikan kembali hatiku. Membawa harapan baru. Persis seperti mentari yang muncul kembali ketika hujan berakhir.

Kami bertegur sapa karena ia tidak sanggup melihatku yang seperti orang linglung. Tas ransel ku terbuka saat itu dan buku-buku algoritma pemrogramanku hampir berhamburan ke luar.

"Sebentar," katanya. Lembut, tapi seperti perintah.

Aku diam. Membiarkan ia yang berjalan di arah berbeda denganku, mendekat. Mengulurkan tangannya untuk menutup resleting tasku.

Aku tidak mengeluarkan suara apapun. Entah karena terlalu terpesona atau aku malu pada diriku.

"Anak TI ya, kak? Programnya debug ya? Gitu banget wajahnya." katanya lagi.

Aku tersenyum malu-malu.

Sepertinya semua jaringan syarafku tereset ulang seperti waktu aku bayi. Aku kehilangan memori untuk bisa tahu apa yang sebaiknya aku lakukan.

Begitulah pertemuan awal kami. Aku yang memalukan dan ia yang sangat menakjubkan.

Sejak saat itu aku selalu berusaha mencari cara bertemu dengannya. Ia adalah mahasiswa Jurusan Farmasi. Aku merasa sudah terobati tiap kali melihat wajahnya. Benar-benar cocok jurusan itu untuknya.

Butuh waktu yang lama untuk mendekatinya. Meskipun ia ramah dan sangat ceria, ia tak mudah untuk didekati dalam konteks romantis. Selalu menjaga jarak. Penolakan demi penolakan ku temui. Tidak sekali dua kali. Sampai akhirnya ketika sidang skripsiku. setahun setelah pertemuan kami, ia mengiyakan ajakanku untuk membangun hubungan yang lebih serius.

Ah, tentu saja. Gadis sepertinya mana mau dengan mahasiswa kacangan yang tidak bisa menyelesaikan skripsinya.

Pantas saja ia menunggu hingga aku menyelesaikan skripsi.

Tapi kesetiaannya boleh diadu. Ia menungguku dengan baik. Ia tidak meninggalkanku dengan pria lain walau banyak yang mendekatinya.

Aku membaca kembali pesan di layar handphoneku.

Sebutir air mata bergulir dan disusul teman-temannya.

Apa maksudmu, Diona ...

Mengapa sekarang?

Kami baru saja membahas tentang pernikahan sebulan yang lalu. Di hari ulang tahunnya.

Aku sebenarnya ingin menjadi pria yang romantis pada waktu itu. Jadi kusiapkan sebuket bunga, yang terbaik yang aku bisa, balon-balon berbentuk hati dengan warna merah jambu dan putih, dan tak ketinggalan cupcake aneka warna dengan kartu ucapan di bagian atasnya. Model itu sedang kekinian di kalangan anak muda. Jadi aku tidak ingin melewatkannya.

Aku datang ke rumahnya dengan membawa semua itu. Menitipkannya pada adiknya dan memintanya membantuku menghias ruang tamu. Aku bertemu orang tuanya juga saat itu. Ah, mungkin aku terlalu bahagia di hari ulang tahun Diona hingga tidak menyadari bagaimana raut wajah keluarganya ketika aku datang. Apakah mereka senang dengan rencanaku saat itu? Apakah mereka menghargai usahaku? Apakah mereka menyambut hadirku?

Karena jika iya, tidak mungkin hari ini aku mendapat pesan yang mengejutkan seperti barusan.

Aku memang pemuda kacangan. Gembar-gembor memulai start-up, tapi yang kulakukan hanya bermain-main. Apa karena itu Diona meninggalkanku? Apa karena itu orang tuanya ingin ia bersama pria lain?

Seketika ku ingat masa-masa jatuh bangunku lima tahun ini. Selalu ada Diona di sana. Siap pasang hati yang sekuat baja setiap kali aku terpuruk. Itulah Diona. Tidak pernah lelah menyemangatiku dan memintaku bangkit kembali.

Sementara aku. Apa yang bisa kulakukan untuknya?

Ketika ia menyelesaikan S2 nya sambil tetap bekerja, aku hanya bermimpi besar tanpa realisasi. Ketika ia membangun usaha produk pengobatan herbalnya, aku yang diminta bantu promosi pewat Google Ads malah tidak serius. Sampai-sampai mitra kerjanya memperkerjakan IT lain untuj brand mereka. Ah, aku telah membuatnya malu karena ketidakbecusanku ini.

Bukan hanya sekali. banyak kekecewaan yang kutorehkan pada hari-harinya. Hanya saja aku baru menyadarinya. Di saat yang benar-benar terlambat.

Apakah pantas aku mengeluh sekarang?

Kuletakkan handphoneku sambil menarik napas panjang dan lama.

Adzan maghrib berkumandang.

Aku memang melakukan kesalahan dengan menyia-nyiakan Diona. Tapi jika ia memilih untuk tidak menemani jalanku lagi, itu adalah haknya. Kewajibanku adalah memperbaiki diri. Memastikan tidak ada Diona-Diona lain yang akan tersakiti. Ia pergi karena suatu sebab yang ia sendiri yang tahu. Aku hanya bisa menebak-nebak. Apapun yang menjadi alasannya, intinya ia tidak mencintaiku sebesar ia mempercayai alasannya untuk pergi.

Aku pun tidak bisa mencintainya lagi.

Aku membasuh wajahku dengan air. Siap bersujud, mengadu pada ilahi.

Tuhan yang Maha membolak-balikkan hati, kuatkanlah hamba-Mu. Bantu hamba untuk maju dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Dan teruntuk kekasih yang merajai hatiku lima tahun belakangan, pergilah. Semoga kamu bahagia dengan keputusanmu. Mudah-mudahan pilihanmu tidak menyakitimu nanti. Tidak mengecewakan ekspektasimu. Tidak membuatmu menyesal telah meninggalkan aku, pria yang pernah setulus hatinya memujamu. Teriring doa yang tulus untuk kebahagiaanmu. Dan ucapan sampai bertemu lagi, suatu saat nanti. Ku harap saat itu, aku bisa menjadi orang yang lebih baik, yang mungkin selama ini luput dari dugaanmu.

Terima kasih banyak atas pelajaran hidup yang kamu berikan. Terima kasih banyak atas permakluman yang selalu kamu hadiahkan. Atas pengertian dan kerja kerasmu, juga atas kesediaanmu hidup sederhana denganku di waktu yang lalu.

Dear Diona,