Makalah Filsafat Ilmu : Epistimologi Pengetahuan

Makalah Filsafat Ilmu : Epistimologi Pengetahuan -- Pengertian Epistimologi dan Contohnya, Contoh Makalah Epistimologi Pengetahuan, Filsafat Ilmu : Epistimologi Pengetahuan, Pembahasan Epistimologi Ilmu Pengetahuan, Pembahasan Materi Epistimologi Filsafat, Epistimologi Filsafat pdf.

Kali ini admin akan berbagi pengetahuan seputar filsafat ilmu yang terangkum dalam Makalah Filsafat Ilmu : Epistimologi Pengetahuan. Makalah yang dsampaikan ini merupakan kelanjutan dari makalah sebelumnya yang berjudul "Makalah Filsafat Ilmu : Ontoologi Pengetahuan". Langsung saja pahami pembahasan selengkapnya di bawah ini.

http://www.karyaku.web.id/

BAB I PENDAHULUAN

Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban-jawaban tersebut juga tidak selalu memuaskan manusia.

Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita secara maksimal maka harus kita ketahui jawaban apa saja yang mungkin bisa diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada pengetahuan mana suatu pertanyaan tertentu harus kita ajukan (Suriasumantri, 2007: 104-105)

Jadi, pada hakikatnya kita mengharapkan jawaban yang benar, dan bukannya sekedar jawaban yang bersifat sembarang saja. Lalu timbullah masalah, bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar?  Masalah inilah yang dalam kajian filsafat disebut epistemologi dan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Epistemologi

Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiridari dua kata, yaitu epistemeyang berarti pengetahuan, dan logos, yang berarti pikiran, teori atau ilmu. Jadi, epistemologi berarti pikiran atau teori tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Istilah lain juga biasa digunakan, yaitu teori pengetahuan (theory of knowledge) atau filsafat pengetahuan (philosophy of knowledge) (Susanto, 2011:136).

Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: Apakah sumber-sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia (William  S. Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965 dalam Suriasumantri, 2007:119).

Menurut Surajiyo (2010:26), epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan. Dan menurut Pidarta (2009:77) epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan dan kebenaran.

Dari berbagai pendapat ahli di atas dapat disimpulkan dengan bahasa sederhana epistemologi merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang benar.

2.2 Jarum Sejarah Pengetahuan

Sejarah pengetahuan berjalan sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia. Dengan mengetahui sejarah akan pengetahuan, kita akan dibantu bagaimana menetapkan suatu metode untuk memperoleh pengetahuan yang benar nantinya. Secara garis besar, sejarah pengetahuan terbagi menjadi tiga fase, yaitu :

a. Pengetahuan abad primitif 

Pada abad primitif manusia sudah mulai mengenal dengan yang namanya pengetahuan. Mereka menfungsikan pengetahuan tersebut sebagai alat dan cara mereka untuk menyelesaikan masalah yang terjadi disekitar mereka. Akan tetapi, pada abad ini pengetahuan masih berupa satu kesatuan yang bulat. Tidak adanya pengklasifikasian antara suatu pengetahuan tertentu dengan pengetahuan yang lainnya. Akibatnya, pada masa itu, seorang yang dianggap mampu dibidang kedokteran, dia juga akan dianggap mampu dibidang pertanian, keagamaan, pemerintahan dan lainnya. Seorang pemimpin pada masa itu adalah mereka yang ahli atau pakar dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat yang berada dibawah kepemimpinanya.

b. Pengetahuan abad penalaran (age of reason)

Pada abad ini manusia telah mengalami perkembangan pemikiran yang cukup pesat setelah terlewatnya masamasa pemikiran primitif. Pada abad ini manusia mulai melakukan pembedaan pembedaan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya. Mereka membedakan pengetahuan pengetahuan tersebut dalam wadahnya yang terpisah. Artinya, antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya memiliki ranahnya masing masing untuk dikaji. Tidak ada hubungan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya dalam rangka menyelesaikan suatu masalah. Metode yang berkembangpun antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya sangat berbeda. Intinya, pada masa ini pengetahuan mengalami diferensiasi dan memiliki ranahnya masing masing tanpa berhubungan atau berkait dengan pengetahuan lainnya.

c. Pengetahuan abad modern

Fase terakhir ini adalah fase pengetahuan yang masih berlaku hingga sekarang ini. Manusia mulai menggabungkan antara metode primitif dengan metode yang digunakan oleh manusia masa penalaran. Dengan penggabungan dua cara tersebut, munculah metode inter-disipliner dalam pengetahuan. Tidak seperti metode yang dipergunakan pada masa penalaran, masa ini, pengetahuan lebih diperlakukan sebagai suatu rangkaian penyelesaian masalah yang berkaitan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya. Artinya, wilayah antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lainnya tetap dibedakan untuk kajian telaahnya. Akan tetapi, dalam perannya sebagai alat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia, pengetahun memiliki semacam ikatan yang erat antara satu wilayah kajian keilmuan dengan yang lain. Demikianlah jarum sejarah perjalanan pengetahuan dalam perannya sebagai alat untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan manusia yang terjadi pada kehidupan sehari hari.

2.3 Pengetahuan

Sama seperti sejarah pada perkembangan pengetahuan dari masa ke masa, metode epistemologi juga berkembang seiring dengan berkembangnya cara berpikir manusia. Dimulai dengan nenek moyang kita yang hidup di masa-masa purba yang mana masih sangat primitif. Usaha mereka dalam mendapatkan pengetahuan yang benar terutama dalam penafsiran dan memahami alam adalah dengan meletakkan dewa dewa pada setiap gejala yang terjadi di alamini. Hujan deras yang merusak pertanda bahwa dewa hujan sedang dalam keadaan badmood. Entah itu karena manusia yang lupa memberikannya sesajen atau dia sedang ada masalah dengan dewa lainnya.

Tahap selanjutnya adalah masa dimana manusia mulai berusaha untuk melepas belenggu mitos dalam setiap gejala alam yang mereka rasakan dan mereka lihat. Dari usaha ini berkembanglah epistemologicommon sense dan trial-and-error. Ada dua ciri dari epistemologi manusia zaman ini untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama dengan menggunakan common sense atau akal sehat. Pada tahap ini mereka mulai menggunakan akal mereka untuk menafsirkan alam dengan melepas belenggu belenggu mitos yang diwariskan generasi sebelumnya. Kedua adalah dengan trial-and-error yaitu metode praktek lapangan dengan mencoba-coba. Artinya sebelum mengkaji tentang tentang sesuatu mereka masih belum dibekali dengan suatu teori tentang hal tersebut. Yang ada hanyalah bekal akal yang sehat dan keberanian untuk mencoba-coba. Akibatnya sistem epistemologi seperti ini tidaklah mendatangkan sebuah pengetahuan yang benar akan objek yang dikaji.

Contoh : ketika Copernicus mengatakan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari. Masyarakat setempat tidak mempercayainya. Sebab, menurut akal sehat mereka mataharilah yang mengelilingi bumi. Jadi, akal sehat selamanya tidak selalu memberikan kebenaran. Akan tetapi, epistemology seperti ini berperan penting dalam usaha manusia  untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.

Dilanjutkan dengan tumbuh rasionalisme untuk merontokkan dasar dasar pikiran yang masih bersifat mitos. Lalu, karena adanya beberapa kelemahan pada metode seperti ini, berkembanglah empirisme. Sama seperti rasionalisme, empirisme juga terdapat celah-celah dalam metode penemuan kebenarannya.

Selanjutnya, munculah metode eksperimen yang menengahi antara merode rasionalisme dan empirisme. Bagaimana kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Yaitu dengan mengadakan penjelasan-penjelasan teoritis dalam ranah rasio dan melakukan pembuktian pembuktian dalam ranah empiris. Inilah yang disebut dengan metode eksperimen yang menjembatani antara rasionalisme dan empirisme. Konsep epistemologi ini dikembangkan para sarjana muslim ketika masa keemasan islam dan dimasyarakatkan oleh Francis Bacon. Dari metode eksperimen inilah nanti timbul “metode ilmiah” yang menggabungkan antara cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif.

2.4 Metode Ilmiah

Kata metode berasal dari kata Yunani methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah) kata methodos sendiri lalu berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah.

Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah (Suriasumantri, 2007:119).

Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:

1. Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya;

2. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan;

3. Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan;

4. Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta ynag relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak;

5. Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak tedapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis yang diterimakemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisiten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.

Metode Ilmiah ini tidak dapat digunakan pada pengetahuan yang tidak termasuk kedalam kelompok ilmu, contohnya matematika dan bahasa tidak mempergunakan metode ilmiah dalam penyusunan pengetahuannya, karena matematika hanyalah pengetahuan yang menjadi sarana dalam berfikir ilmiah. bagitu juga halnya dengan bidang sastra yang termasuk kedalam humoniora yang jelas tidak mempergunakan metode ilmiah dalam penyusunan tubuh pengetahunnya.

2.5 Struktur Pengetahuan Ilmiah

Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan, dan dengan demikian dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada. Penjelasan keilmuan memungkinkan kita meramalkan apa yang akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut kita bisa melakukan upaya untuk mengontrol agar ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak. Jadi pengetahuan ilmiah pada hakikatnya mempunyai tiga fungsi, yakni menjelaskan, meramalkan dan mengontrol.

Secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan yakni deduktif, probabilistik, fungsional atau teleologis, dan genetik (Ernest Nagel, 1961, dalam Suriasumantri, 2007:142).

1. Penjelasan deduktif mempergunakan cara berpikir deduktif dalam menjelaskan suatu gejala dengan menarik kesimpulan secara logis dari premis-premis yang telah ditetapkan sebelumnya.

2. Penjelasan probabilistik merupakan penjelasan yang ditarik secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberikan kepastian seperti penjelasan deduktif melainkan penjelasan yang bersifat peluang seperti “kemungkinan”, ‘kemungkinan besar” atau “hampir dapat dipastikan”.

3. Penjelasan fungsional atau teleologis merupakan penjelasan yang meletakkan sebuah unsur dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai karakteristik atau arah perkembangan tertentu.

4. Penjelasan genetik mempergunakan faktor-faktor yang timbul sebelumnya dalam menjelaskan gejala yang muncul kemudian.

Struktur pengetahuan ilmiah terdiri dari:

a. Teori 
  • Merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan.

b. Hukum
  • Pada hakikatnya merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat.

c. Prinsip
  • Dapatdiartikan sebagai pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala-gejala tertentu, yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi, umpamanya saja hukum sebab  akibat sebuah gejala. 

d. Postulat
  • Merupakan asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktiannya. Bila postulat dalam pengajuannya tidak memerlukan bukti tentang kebenarannya maka hal ini berlainan dengan asumsi yang harus ditetapkan dalam sebuah argumentasi ilmiah. Asumsi harus merupakan pernyataan yang kebenarannya secara empiris dapat diuji.

BAB III PENUTUP

Pengetahuan adalah alat bagi manusia untuk memahami apa yang ada di sekelilingnya, untuk menafsirkan gejala-gejala alam yang terjadi dan untuk mencari penyelesaian terhadap masalah-masalah kehidupan mereka. Cara memperoleh pengetahuan terus mengalami perkembangan dari masa ke masa.

Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempelajari cara mendapatkan ilmu pengetahuan yang benar. Yaitu melalui metode ilmiah dengan langkah-langkahnya yang terdiri dari perumusan masalah, perumusan kerangka berpikir dalam menyusun hipotesis, pengajuan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan. Jadi, tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu.


DAFTAR PUSTAKA

Pidarta, Made. 2009. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 

Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.

Itulah makalah yang admin bagikan untuk kamu semua. Semoga makalah tentang Filsafat Ilmu : Epistimologi Pengetahuan yang telah admin bagikan bermanfat untuk kamu semua.

Selanjutnya baca makalah tentang Filsafat Ilmu : Aksiologi Pengetahuan