Cerpen Cinta " Terima Kasih dan Maaf untuk Cinta " - Part 3

Cerpen Cinta " Terima Kasih dan Maaf untuk Cinta " - Part 3 -- Terima Kasih Cinta, Maafkan Aku, Cerpen Maaf Menyakitimu, Cerpen Cinta Remaja " Terima Kasih dan Maaf untuk Cinta "



Cerpen ini merupakan kelanjutan dari cerpen sebelumnya yang berjudul Cerpen Cinta " Terima Kasih dan Maaf untuk Cinta " - Part 2. Apabila belum membacanya, silahkan baca dulu ya. Bagi yang sudah, lanjutan membaca cerpen berikut.

Aku memutuskan untuk membuka hati untuk Sian. Namun, aku harus jujur bahwa cinta itu tak ada di hatiku untuk Sian. Aku ingin belajar mencintai Sian. Aku berharap cinta itu tumbuh perlahan-lahan. Aku memohon waktu pada Sian. Aku tak bisa memberikan hati ini sepenuhnya. Aku takut keraguan yang ada dalam hatiku adalah pertanda Sian bukan yang terbaik untukku. Aku selalu menegaskan pada Sian, jodoh tak akan kemana.

Kiki: “Ai, jangan seperti ini, kamu tak perlu memaksakan diri untuk mencintai Sian”

Aku: “Lalu? Apa yang harus aku lakukan?”

Kiki: “Kalau kamu tak cinta, maka jujurlah pada Sian, katakan yang sebenarnya”

Aku: “Iya Ki, aku ingin jujur, tapi coba kau lihat Sian. Kasihan dia”

Kiki: “Lebih kasihan jika kamu tak jujur Ai, ini sama saja kamu membohonginya”

Aku: (Seperti lagunya D Masiv Diam tanpa kata)

Kiki: “Mau sampai kapan seperti ini? Kamu akan tersiksa dengan perasaanmu, Sian juga akan terluka jika ia sampai mengetahui hal ini dari orang lain”

Aku: “Aku tak bisa”

Kiki: “Apa harus aku yang mengatakan pada Sian? Aku minta maaf Ai, karena aku berusaha mempengaruhimu, tapi ini demi kebaikanmu.”

Aku: “Aku takut Sian terluka dan membenciku, aku tak ingin dibenci”

Kiki: “Kalau tak cinta, ya sudah titik.”

Aku tak bisa berdebat terus seperti ini dengan Kiki. Aku tak ingin bermasalah dengan Kiki hanya karena keegoisanku. Aku berusaha merenung, menilai perasaanku sendiri seraya menjalani hari demi hari hubunganku dengan Sian.

Di sisi lain, Sian begitu perhatian padaku. Dia memberiku suprise ulang tahun, menulis puisi untukku, dan sesekali dia menyanjungku dengan kata manis melalui status Facebooknya. Sian melakukan yang terbaik untukku. Tapi aku hanya bisa terperangkap dengan masa lalu.

Waktu itu tiba, aku mengumpulkan segenap keberanianku untuk mengambil keputusan mengenai kelanjutan hubunganku dengan Sian. Aku tak mau terbebani dengan perasaan bersalah pada Sian. Aku pasrah jika ia menghujatku, jika ia mencaciku, atau menyumpahiku. Resiko apapun itu akan aku hadapi. Karena keputusanku sudah final. Kuajak Sian bertemu di kantin kampus.

Aku: “Sian,”

Sian: “Iya, kenapa?”

Aku: “Aku minta maaf”

Sian: “Maaf untuk apa? Kamu melakukan salah?”

Aku: “Iya aku bersalah padamu”

Sian: “Salah padaku? Apa itu?”

Aku: “Aku.......Aku ingin kita berteman saja seperti dulu”

Sian: “Ai, kamu adalah temanku, teman hidupku”

Aku: “Sian, bukan itu maksudku. Aku mau kamu jangan memberiku lagi perhatian yang lebih”

Sian: “Ai, apapun yang kamu minta akan aku lakukan”

Aku: “Sian, aku mohon mengertilah. Aku sudah tak bisa melanjutkan hubungan ini. Aku tak bisa mencintai seperti yang kamu inginkan. Aku tak bisa membalas perasaanmu”

Sian tampak diam tak berkutik. Dia lumpuh akan gerak dan kata. Aku bingung. Aku merasa bersalah, namun harus kulakukan walau menyakitkan baginya. Sian berdiri dari kursinya, meninggalkan meja makan dan diriku. Dia pergi tanpa pamit. Raut mukanya berubah memerah. Entah dia ingin marah atau hendak menangis.

Aku tak ingin mengejarnya. Kubiarkan Sian untuk menyendiri. Dia butuh waktu untuk menenangkan diri.

Selepas kejadian itu, Sian mendadak berubah. Dia menjadi dingin padaku. Dia tak ingin menyapaku bahkan dia tak mau melihat mukaku. Dia menghindariku.

Aku kini sendiri kembali ke status jombloku. Namun aku menikmatinya. Aku seperti melepas beban berton-ton di diriku. Tak ada kekasih bukan berarti tak bahagia. Aku masih punya sahabat, teman, ada Kiki dan juga Ibu. Tak ada yang perlu kusesali. Tak ada alasan bagiku untuk bersedih. Hidup harus tetap berlanjut.

Semester berikutnya Sian pindah ke Kalimantan mengikuti keluarganya. Sian tak berpamitan padaku ataupun teman sekelas. Dia pergi seperti di telan bumi. Tak tahu alasan mengapa dia memutuskan pindah. Apa karena aku? Ah masa sih sampai seperti itu. Pasti Sian punya alasan lain. Jika itu karena aku, biarlah. Suatu saat Sian akan menyadari bahwa cinta tak bisa dipaksakan.

Setelah kepindahan Sian, Saldy menyusulnya. Bukan menyusulnya ke Kalimantan. Saldy memutuskan berhenti kuliah. Sontak keputusannya itu membuat gempar satu jurusan. Saldy selama ini dikenal sebagai ketua kelas yang rajin dan disiplin. Dia juga aktif di organisasi mahasiswa. Saldy tergolong mahasiswa yang cerdas, dan banyak digandrungi para dosen.

Aku heran mengapa Saldy memutuskan berhenti di tengah perjalanan menuju cita-cita. Jawaban akhirnya kami semua dapatkan, setelah Saldy secara resmi memberikan salam perpisahan di depan kelas.

Saldy: “Teman-teman, kalau selama ini saya ada salah atau kata yang membuat kalian tersakiti, Mohon maafkan aku”

Kami: “Iya”

Fitri menangis sahabatnya akan pergi. Rupanya persahabatan mereka begitu erat. Aku salut pada mereka, bukannya cemburu. Setelah putus dengan Saldy, kami masih menjalin komunikasi yang baik. Tak seperti Sian yang tak pernah berbalas sapa sedikit pun denganku.

Saldy: “Aku berhenti kuliah karena aku telah diterima di Akademi Kepolisian. Aku lulus menjadi seorang polisi”

Teman-teman sontak bertepuk tangan dan memberi selamat sekaligus salam perpisahan pada Saldy.

Saldy: “Perpisahan ini jangan membuat kita jauh, kita masih bisa berkumpul bersama dikala rindu teman”

Seluruh kelas diam. Satu persatu Saldy menyalami kami. Tiba giliranku.

Saldy: “Maafkan ya kalau ada salah”

Aku: “Iya, aku juga minta maaf”

Saldy: “Jadi serius nih?”

Aku: “Maksud kamu?”

Saldy: “Aahh, bercanda kok”. Saldy menyalami Kiki yang berada di dekatku.

Kiki: “Sukses ya Sal”

Saldy: “Iya, makasih Ki. Tolong jaga Jandaku”

Kiki: “Aahh?? Janda? Siapa?”

Saldy: “Ini disampingmu. Dia kan Jandaku”

Suasana kelas yang bersedih karena akan ditinggal ketua kelas tercintanya, mendadak heboh tertawa karena candaan Saldy terhadapku. Aku hanya bisa tersenyum mendengar Saldy. Inilah mengapa kuanggap Saldy sebagai mantan terbaik. Karena dia tetap menghargaiku, tak menjaga jarak denganku walau kami sudah putus. Luka hati yang lalu karena Saldy, sudah terobati dan sembuh secara perlahan-lahan.

Untuk Saldy, terima kasih karena kamu sudah mampu menjadi mantan terbaikku.

Untuk Sian, maafkan aku yang tak bisa membalas cintamu.

Baca juga cerpen lainnya di blog ini ya. Temukan di label cerpen atau cari di kolom search. Thanks.